Namun steorotip tersebut ternyata tidak selamanya benar. Seorang dokter yang berpraktek di sebuah bangunan tua di Jl. Puri kota Medan mengambil jalan hidup yang berbeda. Di kediamannya tersebut, dokter yang biasa disapa Buya ini membuka praktek tanpa memasang papan nama. Dan yang membuat banyak orang mengaguminya, ternyata ia juga tak memasang tarif pada pasien yang diobatinya.
Padahal Buya bukanlah dokter biasa, sederet gelar akademik menghiasi nama lengkapnya : Prof. Dr. Aznan Lelo, Ph.D., Sp.FK. Ia adalah guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU).
Kredit Foto: Analisadaily |
Bagi yang sudah pernah menjadi pasien Buya pastinya sudah paham dengan metode pembayaran seikhlasnya tersebut. Namun bagi yang belum pernah tahu, dan malah bertanya berapa tarif yang harus dibayar kepada sang dokter, maka tidak jarang mereka malah ditegur oleh Buya karena dianggap menyinggung idealismenya.
Seorang Kontraktor yang berobat mengendarai mobil APV menyatakan, ia datang ke dr. Aznan bukan karena sang dokter tidak mematok tarif, namun karena tangan dingin sang dokter yang telah menyembuhkan tiga anaknya dari sakit. Metode pengobatan Buya sangat teratur dan bagus dan ia juga ahli meracik obat, sesuai dengan keahlian beliau sebagai ahli Farmakologi.
Yang sedikit mengejutkan dari kehidupan sang dokter mulia ini, ternyata dr. Aznan belum memiliki rumah sendiri. Dalam sebuah wawancara dengan seorang wartawan, ia mengungkapkan bahwa ia memang tidak pernah mengejar harta duniawi. "Aku yang penting tidak ada hutang, itu saja prinsipku."
"Sampai sekarang tak punya rumah, biar kau tahu. Ini rumah mertuaku, yang ada di kampus USU itu kan rumahnya (milik) USU, Adapun rumah BTN yang dulu kucicil dari RISPA, tak sempat kunikmati karena disewakan," ujar dr. Aznan dengan gaya bicara Medan yang kental.
Kredit Foto: Analisadaily |
Bagi dr. Aznan, seharusnya profesi dokter tidak boleh menetapkan tarif. "Yang datang ke pengacara itu kan orang meminta nasihat, datang ke guru karena orang mau belajar, datang ke dokter karena orang mau minta pengobatan. Jangan dibilang, eh sudah kau tolong kau, mana duitnya. Itu tidak boleh. Terkecuali karena ilmu kita dia pintar lalu dia kaya, terus dia memberikan sesuatu tidak kita minta, boleh."
"Jadi tiga profesi ini mestinya tak boleh membuat tarif," pungkasnya.
Dengan prinsip tanpa tarif ini membuat pasien Buya setiap harinya membludak, bahkan kadang sampai berjumlah seratusan. Semua ia tangani meski baru selesai hingga dini hari. Menurutnya, dalam satu hari paling sedikit pasien yang datang sebanyak 30 pasien.
Ditanya berapa biasa isi amplop yang diterimanya, Buya menjawab dengan ekspresi datar "ada Rp. 5.000, lima ratus rupiahpun ada, yang kosong juga ada."
Ia tidak pernah merasa sakit hati dengan isi amplop yang diterimanya "Sama siapa aku harus sakit hati? Nggak mungkin. Bisa rupanya kutandai amplop ini dari si anu, ini dari si anu dari begitu banyaknya amplop tadi?" jawabnya sambil tersenyum.
Bagi para dokter yang ingin mengikuti jejaknya. Ia memberi nasihat, "Kalau aku boleh kasih nasihat sama kawan-kawan dokter, jangan tiru aku. Kalau pun mau kan sudah kujelaskan tadi, bahwa harus yakin dulu dengan ke-Islaman. Bahwa Islam itu Rahmatan lil'aalamin."
Semoga makin banyak dokter-dokter muda yang mengikuti jejak mulia beliau. dr. Aznan hingga kini dikenal sebagai dokter dan guru besar yang sangat disegani dan disayangi oleh masyarakat kota Medan.
Sumber : Feriansyah Nasution
Post a Comment