Jakarta - Jonathan Abrams tentu nama yang terdengar asing di telinga. Tapi, jika menyebut Friendster, pasti Anda pernah mendengar, atau bahkan aktif di jejaring sosial yang bisa dibilang pertama tersebut. Nah, Abrams merupakan pendiri Friendster.
Abrams memang tak mencapai ketenaran seperti Mark Zuckerberg yang mendirikan Facebook, dan hanya diketahui sebagai orang yang mendirikan Friendster. Meski begitu, Friendster tetap dikenang sebagai jejaring sosial pertama, yang lahir setahun sebelum MySpace dan dua tahun sebelum Facebook.
Sayang, popularitas Friendster semakin meredup. Lalu, bagaimana nasib Jonathan Abrams sekarang?
Mengutip laman GigaOm, Abrams diketahui mendirikan start up baru yang bernama Nuzzel, yang juga layanan serupa jejaring sosial berpadu news feed.
Jika Friendster dinilai gagal karena terlalu awal memasuki "pesta media sosial", perusahaan baru Abrams diprediksi menghadapi kendala awal: Apakah Nuzzel berhasil mencuri perhatian di saat pasar social-news mulai sedikit meredup.
Sebelum mendirikan Friendster, sebenarnya Abrams pernah mendirikan sejumlah start up yang juga menjadi pelopor di bidangnya. Misalnya, Hotlinks, yang merupakan layanan social-bookmarking. Pria kelahiran Kanada ini mendirikan Hotlinks setelah keluar dari Netscape.
Sayangnya, Hotlinks diluncurkan terlalu cepat, dan lima tahun sebelum Delicious sukses menjadi layanan social-bookmarking.
Abrams juga pernah meluncurkan situs perencanaan event bernama Socializr. Sayangnya, situs ini tak berhasil menarik perhatian dan dijual pada 2010.
Ketika itulah Abrams kemudian pindah ke San Francisco. Abrams kemudian mengelola klub malam bernama Slide dan private club, sekaligus ruang kerja bernama Founders Den.
Meski begitu, Abrams mengaku tetap tertarik dengan media sosial. Salah satu ketertarikannya adalah untuk mengatasi masalah informasi yang membeludak (overload), yang sering dialami jejaring sosial seperti Twitter.
"Saya pernah mulai menjauhkan konsumsi berita dari RSS dan tempat seperti MyYahoo. Dan saya mulai menggunakan Twitter lagi, dan lagi," tutur Abrams, seperti dikutip dari GigaOm.
"Tapi, saya menemukan jika mengecek itu beberapa kali dalam sehari, saya merasa kehilangan banyak hal. Saya butuh sejumlah tool yang bisa membantu saya untuk mengatur segala sesuatu," ucapnya.
Tapi, bukannya mengecek salah satu layanan terkait penyedia filter dan rekomendasi seperti Zite atau Summify, programmer yang mulai bekerja di laboratorium Bell Northern Research di Kanada ini malah memutuskan untuk membuat layanan sendiri. Ini yang menjadikan Abrams mendirikan Nuzzel.
Pengguna kemudian login menggunakan profil dari akun Twitter atau Facebook dan logaritma milik sistem Nuzzel akan masuk ke arus aktivitas pengguna. Selain itu, akan menarik artikel berita yang telah di-share dan direkomendasikan oleh sejumlah followers.
Layanan ini juga menggunakan sinyal semantik untuk meng-generate konten yang direkomendasikan, yang telah di-share oleh seseorang dalam grafik sosial milik pengguna.
Post a Comment