Seperti dalam dua kasus di dalam tulisan ini, cukup banyak orangtua yang merasa kikuk, malu dan sekaligus takut dalam menyebutkan alat kelamin laki-laki atau perempuan. Istilah ilmiah yang seharusnya bebas nilai, bagi mereka malah dianggap �jorok� bahkan tabu. Mereka kemudian menggantinya dengan istilah eufemisme yang menurut mereka lebih �halus� tetapi sesungguhnya malah mengaburkan. Tidak sedikit yang kemudian meminjam nama benda, binatang atau makanan untuk menamai alat kelamin. Padahal, anak-anak yang masih kecil ini butuh kejelasan.
Mengutip teori perkembangan seks yang dikemukakan Sigmund Freud, anak-anak yang berumur antara 3 � 6 tahun, berada dalam phalic stage. Pada masa itu anak-anak mengalami kepuasaan dan kesenangan dari area genital mereka. Sedangkan ketika umur 1-2 tahun disebut masa oral. Anak-anak suka menghisap tangan sendiri (nyedot), seperti saat mereka menyusui. Jadi wajar jika anak-anak usia 3-6 tahun mulai banyak bertanya seputar alat kelamin karena memang sesuai dengan fase perkembangannya.
Ada dua hal dalam menyikapi anak-anak dalam masa phalic yakni dari perkembangan kognitif dan psikososialnya. Teori psikososial Erik H. Erikson mengatakan bahwa anak umur 3 - 6 tahun berada dalam masa inisiatif. Mereka punya banyak inisiatif, untuk mengetahui segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya. Seiring dengan itu, anak mulai merasakan sensasi berbeda di daerah-daerah kelaminnya. Wajar saja jika anak bertanya, sebab mereka ingin tahu apa yang membuat mereka merasakan sensasi itu.
Dan anak juga mulai menghubungkan keingintahuannya dengan informasi yang diperoleh dari luar. Misalnya, �Oh punya saya seperti ini, kok berbeda dengan adik.� Kemudian timbul pertanyaan, �Kok saya berbeda dengan adik? Adik pipis berdiri, kenapa saya harus duduk?� Ia kemudian bertanya kepada ibunya, �Mama, punya adik itu apa (sambil menunjuk alat kelamin adik laki-lakinya), terus punya saya namanya apa?�
Pertanyaan beruntun pun akan menghampiri orangtua seputar alat kelamin. Sebaiknya orangtua tidak panik atau malah menghindar, sebab tujuan anak bertanya kelamin pada usia phalic hanya untuk menjawab keingintahuan mereka saja. Bukan berarti menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas seksual.
Lantas bagaimana orangtua bersikap?
Sayangnya banyak orangtua tidak memahami fase perkembangan anak dan rasa ingin tahunya. Orangtua lebih memilih menjawab dengan meminjam nama-nama benda untuk menamai alat kelamin. Seharusnya orangtua tidak perlu berbohong. Katakan saja yang benar, kalau alat kelamin anak laki-laki disebut penis dan kelamin anak perempuan disebut vagina.
Jika alat kelamin pria disebut �burung,� mungkin pada saat itu anak menerima jawaban tersebut. Tetapi semakin besar anak akan bertanya-tanya, kok namanya burung sih, padahal anggota tubuh yang lain memakai nama sebenarnya; mata ya mata, hidung ya hidung. Akibatnya, anak semakin bertanya-tanya ada apa kok dinamai bukan dengan nama aslinya. Itu bisa menambah rasa ingin tahu mereka. Jadi seharusnya organ genital itu harus diperlakukan sama seperti organ tubuh lain dengan nama yang sebenarnya supaya anak mendapat gambaran yang benar.
Bayangkan jika saat masuk sekolah ada pelajaran pengenalan hewan. Anak akan bingung, kok burung di sekolah bisa terbang, berbeda dengan burung yang dimaksud orangtuanya.
Dr. Dono Baswardono, Psych, Graph, AISEC, MA, Ph.D � Sexologist, Pschoanalyst, Graphologist, Marriage & Family Therapist.
Post a Comment