108Jakarta.com, Kebon Jeruk- Bangsa yang besar dan berperadaban merupakan bangsa yang menghargai sejarahnya. Apakah Indonesia cukup bisa dikatakan demikian, mengingat banyak museum yang tak lain bukti dari peninggalan sejarah telantar nasibnya seolah hidup sebagai yatim piatu. Tak terkecuali Museum Bahari yang berada di Jalan Pasar Ikan 1, Penjaringan, Jakarta Utara.
Mendengar kata "Bahari" identik dengan perairan laut. Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Pasalnya, perairannya saja seluas 3.257.483 km² ketimbang luas daratan yang hanya 1.922.570 km2. Total wilayah Indonesia yang di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik ini membentang hingga sepanjang 3.977 mil.
Museum Bahari sekurangnnya melukiskan identitas bangsa kita yang nenek moyangnya konon pelaut. Entah mengapa kondisi Museum Bahari saat ini mengenaskan. Museum yang dibangun pada tahun 1652 itu sudah amat tidak terawat dan terabaikan.
Konstruksi bangunan didominasi balok-balok besar kayu jati. Terutama pondasi. Di situ terlihat kerap menjadi santapan rayap sehingga mendekati keropos penuh lubang, begitu juga sejumlah jendela dan pintu. Dindingnya pun yang rata-rata setebal 90 sentimeter terlihat bergelembung.
Museum yang memiliki tiga lantai tersebut memuat sejumlah koleksi sejarah kelautan. Mulai dari sekian kapal dan perahu-perahu kuno niaga. Tetapi sangat disayangkan mudah sekali ditemukan benda-benda yang dalam kondisi tidak utuh lagi. Adapun koleksi lain di antaranya miniatur kapal, kapal asli, alat navigasi, alat menangkap ikan, lukisan pahlawan, dokumen pelayaran VOC. Setiap sudut bangunan terlihat berdebu, kotor dan kusam.
Kepala Seksi Edukasi dan Pameran Museum Bahari, Irfal Guci menceritakan, museum bahari seluas 7.500 meter persegi memiliki 850 koleksi. Namun, tidak semuanya dalam kondisi asli. Gedung yang baru diresmikan pada 7 Juli 1977 sebagai museum itu awalnya diperuntukan pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk menyimpan rempah-rempah atau biasa disebut gedung rempah barat. Peresmian dilakukan oleh Ali Sadikin yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Gedung dibangun dalam tiga tahap, yaitu tahun 1718, 1773 dan 1774. Pasca kemerdekaan digunakan sebagai kantor telekomunikasi yang dikelola PT Telkom. Sampai akhirnya kepemilikan jatuh ke tangan pemerintah DKI Jakarta. Irfal berpendapat, persoalan yang dihadapi terkait pola manajemen yang akhirnya memengaruhi pola pendanaan. Mengingat museum beserta koleksinya butuh dana dan sumber daya manusia yang memadai dalam rangka perawatan.
"Persoalannya manajemennya harus diubah. Selama di bawah pemerintah tidak ada progres. Bayangkan, museum ini hanya diurus enam orang (termasuk pimpinannya), PNS-nya hanya ada enam orang. Pekerja lepas tiga orang. Kalau manajemennya diubah, saya kira tampilannya akan berubah. Kalau manajemennya tetap begini, saya kira tak akan berkembang," kata Irfal Guji kepadaKompas.com saat ditemui di ruang kerjanya di Jalan Pasar Ikan 1, Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (30/8/2012).
Biaya perawatan koleksi museum hanya memiliki anggaran sebesar Rp 20 Juta per tahun. Sementara regulasi yang mengatur mekanisme penerimaan bantuan dari pihak swasta belum tersedia. Sehingga upaya perawatan hanya mampu dilakukan secara parsial. Khusus menyoal biaya perawatan baru bisa dimasukkan di dalam anggaran pada 2013.
Harga tiket tersebut berdasarkan Perda No.1 Tahun 2006. Sedangkan bagi yang ingin menggunakan jasa pemandu museum dikenakan Rp 35.000 untuk pemandu lokal dan Rp 75.000 untuk pemandu berbahasa asing. Museum dibuka dari hari Selasa-Minggu. Mulai pukul 09.00-15.00 WIB. Tutup hari Senin dan hari besar nasional.
"Sangat disayangkan ya, tidak terawat begini. Ini kan banyak cerita sejarahnya. Bagus juga untuk pendidikan," katanya. Museum dalam kurun sebulan biasa dikunjungi sekitar 3.500 orang, 30 persennya berasal dari mancanegara.
Irfal mengatakan, keprihatinan terhadap kondisi Museum Bahari tidak lantas menjadi lebih baik. Tiket masuk saja lebih murah daripada biaya menggunakan fasilitas WC umum. Tentu bukan hanya perkara murah. Tetapi bagaimana agar nasib peninggalan sejarah itu bisa tetap diperhatikan serius. Ia berpendapat terbengkalainya catatan sejarah termasuk museum bukti bangsa Indonesia belum mengenal atau tidak menghargai budaya dan sejarahnya.
"Tapi mungkin kita adalah bangsa yang belum mengenal budaya dan sejarahnya. Kita bangsa yang kurang mencintai sejarah bangsanya sendiri," ujar Irfal. (han)
Post a Comment