Jejak KAPAL TRADISIONAL INDONESIA


KAPAL PINISI


Spoiler for KAPAL PINISI:

Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau[1]. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar[2] dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia
Kapal kayu Pinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu, diperkirakan[3] kapal pinisi sudah ada sebelum tahun 1500an. Menurut[4] naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke 14, Pinisi pertama sekali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.

Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan menggunakan Pinisinya ke Luwu. Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Beru dan Lemo-lemo. Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi.


Dalam sejarah, para pelaut Sulawesi dengan kapal pinisi-nya tercatat telah mencapai P. Madagaskar di Afrika. Gelombang pertama terjadi pada abad ke-2 dan 4, gelombang kedua datang pada abad ke-10 dan gelombang terakhir pada abad ke-17 (masa pemerintahan Sriwijaya). Pendatang dari Indonesia tersebut menetap dan mendirikan sebuah kerajaan bernama Merina.


Kapal Pinisi Dengan tujuh layarnya yang terkembang Pada masa sekarang, ekspedisi kapal pinisi yang terkenal adalah Pinisi Nusantara yang berlayar ke Vancouver, Kanada yang memakan waktu 62 hari, pada tahun 1986 yang lalu. Tahun 1987, ada lagi ekspedisi perahu Padewakang, "Hati Marige" ke Darwin, Australia, mengikuti rute klasik. Lalu Ekspedisi Ammana Gappa ke Madagaskar, terakhir pelayaran Pinisi Damar Segara ke Jepang.

KAPAL PATORANI

Spoiler for KAPAL PATORANI:

Kapal Patorani, yang berasal dari Sulawesi Selatan, tak kalah menarik. Pada abad ke 17, kapal ini digunakan oleh armada Kerajaan Goa dan berfungsi sebagai kapal nelayan, khususnya untuk menangkap ikan terbang.

Kapal yang memiliki layar yang berbentuk segi empat dan dilengkapi sebuah tiang layar besar ini banyak dijumpai di perairan Galesong Kabupaten Takalar.
KAPAL PAKUR-JOMON


Spoiler for KAPAL PAKUR-JOMON:

Untuk mewujudkan cita-cita peneliti asal Jepang menjejaki penyebaran umat manusia melalui laut, mereka memilih perahu khas Mandar yang jarang dikenal masyarakat setempat yakni perahu Pakur dan Jomon.

Padahal jenis perahu tersebut “lebih khas” Mandar daripada sandeq. Di daerah Mandar (Sulawesi Barat), tak ada lagi perahu pakur yang digunakan berlayar. Artinya, perahu pakur sudah punah di tanah Mandar. Kendati demikian, bangkainya masih dapat ditemukan saat ini, yakni di Desa Manjopai’ Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polman. Sementara di tempat lain juga masih dapat dijumpai di Desa Luwaor, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene.


Bangkai pakur di Manjopai’ masih memiliki penutup lambung (dek) dan baratang, sedangkan di Luwaor, tinggal balakang-nya (kayu gelondongan yang dikeruk) saja. Melihat ukuran lambung, pakur adalah jenis perahu bercadik berukuran besar.


Rata-rata tinggi lambung pakur lebih satu meter. Bandingkan dengan sandeq yang biasa digunakan berlomba. Bekas balakang (kayu utuh yang dikeruk yang menjadi lunas perahu) pakur di Luwaor tingginya lebih semeter, balakang pakur sandeq Raditya (juara Sandeq Race 2007) tak sampai 50 sentimeter.


Pakur adalah perahu gempal yang bodinya tinggi, tapi panjangnya rata-rata delapan meter. Sedang sandeq lomba, lambung pendek tapi ukurannya panjang, rata-rata lebih 10 meter. Sebenarnya pakur Mandar masih bersiliweran berlayar di beberapa bagian laut Nusantara, yaitu di perbatasan Laut Jawa, Selat Makassar, dengan Laut Flores, tepatnya Laut Bali (perairan utara Bali). Kok bisa? Lalu siapa yang menggunakan pakur Mandar di sana?


Ada beberapa pulau di Kepulauan Kangean di Laut Bali (masuk wilayah administratif Provinsi Jawa Timur) yang dihuni oleh orang Mandar. Beberapa diantaranya Pulau Pagarungan Besar, Pulau Pagarungan Kecil, dan Pulau Sakala. Sekedar catatan, perahu Samuderaksa, replika perahu borobudur yang digunakan berlayar dari Indonesia ke Ghana, Afrika dibuat oleh orang-orang Mandar di Pulau Pagarungan.
KAPAL PADEWAKANG


Spoiler for KAPAL PADEWAKANG:

Kata “padewakang, paduwakang” (Sulawesi) dan “paduwang” (Madura) , mempunyai akar kata wa, wangka, waga, wangga, dan bangka dari bahsa Austronesia. Istilah tersebut diasosiasikan pada “perahu bercadik atau perahu kecil” (Adrian Horridge, The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, 1985).

Adapun pendapat lain menuliskan bahwa perahu padewakang adalah “perahu Bugis berukuran kecil yang menggunakan layar persegi, yang melintang” (Acciaioli, Searching for Good Fortune, dalam Manusia Bugis, Christian Pelras, 2006); dan “perahu dagang Bugis berukuran besar yang digunakan pada abad ke-19, dengan dua atau tiga tiang layar, berlayar persegi, dan berhaluan tinggi” (Adrian Horridge, Sailing Craft of Indonesia, 1986).


Adapun referensi utama yang memperlihatkan model/replika perahu padewakang terdapat dalam atlas etnografi Boegineesch-Hollandsch Woordenboek yang ditulis oleh ahli filologi Belanda bernama B. F. Matthes dan terbit pada tahun 1874 sebagaimana yang terdapat dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Volume 2: Jaringan Asia, Denys Lombard (2005).


Perahu Padekawang

Perahu padewakang sudah ada, paling lambat, pada abad ke-18 merupakan tipe utama dari sekian banyak jenis perahu dagang jarak jauh Sulawesi Selatan. Padewakang-padewakang milik pedagang Mandar, Makassar dan Bugis melayari seluruh Samudera In*donesia di antara Irian Jaya dan Semenanjung Malaya, dan sekurang-kurangnya sejak abad ke-19 secara rutin berlayar sampai ke Australia untuk mencari tripang; dalam suatu buku dari abad silam bahkan terdapat gambaran sebuah perahu padewakang yang dicap ‘perahu bajak laut asal Sulawesi di Teluk Persia’.

Tipe perahu ini menggambarkan dengan baik sifat-sifat perahu Nusantara sejak kedatangan kekuatan kolonial, yaitu sebuah lambung yang –menurut standar Eropa– berukuran sedang yang dilengkapi dengan satu sampai dua geladak, kemudi samping



sumber :http://www.kaskus.co.id/showthread.php?t=6390097

Post a Comment

Previous Post Next Post