Ooh prajurit, ooh pahlawan. Kau t'lah dilupakan. Tiada bintang, tanda jasa. Imbalan bakti dan juangmu.
Sepenggal syair lagu "Pahlawan yang Dilupakan" hasil daur ulang milik The Gembels oleh Boomerang jadi gambaran yang tepat tentang banyaknya pahlawan di negeri ini yang 'habis manis sepah dibuang'.
Sepenggal syair lagu "Pahlawan yang Dilupakan" hasil daur ulang milik The Gembels oleh Boomerang jadi gambaran yang tepat tentang banyaknya pahlawan di negeri ini yang 'habis manis sepah dibuang'.
Suharto, atlet sepeda peraih emas yang kini jadi tukang becak.
Di dunia olah raga, banyak atlet yang pernah berjasa menyumbang medali dan mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Sedihnya, saat tua jasa mereka menguap begitu saja. Lebih parah lagi, harus berjuang untuk bisa makan menyambung hidup.
Tahun 2011 saat gempita SEA Games XXVI di Palembang, sempat merebak di berbagai media tentang nasib mantan atlet yang hidup kesusahan di hari tua. Sebutlah dua contoh yakni Marina Segendi, mantan atlet pencak silat peraih medali emas saat SEA Games di Filipina tahun 1981. Selepas menjadi atlet, Marina sudah tidak mempunyai pekerjaan tetap. Akhirnya harus menjadi supir taksi. Selepas itu, menekuni profesi sebagai pedagang kue, nasi dan menjadi peran pembantu di film.
Nama lainnya adalah Suharto, mantan peraih medali emas balap sepeda di SEA Games 1979. Ia kini harus menarik becak untuk menghidupi kesehariannya bersama istrinya.
"Uang dari hasil menarik becak hanya cukup untuk makan keluarga. Kalau ada sisanya kami tabung untuk bayar sewa kamar kos," ujarnya saat diwawancarai Republika.
Melihat realitas tersebut, Nugroho B Ontowirjo (61), mantan atlet sepeda nasional tergerak hatinya untuk membantu. Ia bertekad dan siap memberikan berbagai medali yang pernah diraihnya untuk diberikan kepada siapapun mantan atlet sepeda yang hidupnya tidak bahagia. Semasa menjadi atlet Nugroho adalah peraih emas pada event HUT ISSI yang ke-10.
Tahun 2011 saat gempita SEA Games XXVI di Palembang, sempat merebak di berbagai media tentang nasib mantan atlet yang hidup kesusahan di hari tua. Sebutlah dua contoh yakni Marina Segendi, mantan atlet pencak silat peraih medali emas saat SEA Games di Filipina tahun 1981. Selepas menjadi atlet, Marina sudah tidak mempunyai pekerjaan tetap. Akhirnya harus menjadi supir taksi. Selepas itu, menekuni profesi sebagai pedagang kue, nasi dan menjadi peran pembantu di film.
Nama lainnya adalah Suharto, mantan peraih medali emas balap sepeda di SEA Games 1979. Ia kini harus menarik becak untuk menghidupi kesehariannya bersama istrinya.
"Uang dari hasil menarik becak hanya cukup untuk makan keluarga. Kalau ada sisanya kami tabung untuk bayar sewa kamar kos," ujarnya saat diwawancarai Republika.
Melihat realitas tersebut, Nugroho B Ontowirjo (61), mantan atlet sepeda nasional tergerak hatinya untuk membantu. Ia bertekad dan siap memberikan berbagai medali yang pernah diraihnya untuk diberikan kepada siapapun mantan atlet sepeda yang hidupnya tidak bahagia. Semasa menjadi atlet Nugroho adalah peraih emas pada event HUT ISSI yang ke-10.
Nugroho dengan medali yang ingin dilelangnya
Medali perak ia raih pada saat event balap sepeda POPSI (Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia). Sedangkan medali perunggu diraihnya pada saat event Pekan Olahraga Mahasiswa yang berlangsung di Palembang, Sumatera Selatan. Selain itu, berbagai piagam juga telah diraih Nugroho saat masih jaya menggowes sepeda. Semua piagam-piagam itu masih terpampang rapih di ruangan depan rumahnya.
Nugroho berniat melelang berbagai medali koleksinya untuk disumbangkan ke mantan atlet sepeda.
Ketika masih berjaya, Nugroho seolah menjadi momok atau ketakutan bagi atlet lain. Tidak heran, ketika berlaga pada suatu event, nama Nugroho selalu ditanyakan oleh atlet lain. Mereka menanyakan apakah Nugroho ikut berlaga atau tidak. Jika Nugroho turut berlaga, maka atlet lain akan kepayahan dan kewalahan sehingga tidak akan menang.
Nugroho mengawali karirnya sejak masih duduk di bangku kelas 2 SMP 19 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Ia melepaskan karirnya sebagai atlet sepeda, ketika memasuki bangku kuliah. Ia lebih memilih menjadi mahasiswa arsitek di Universitas Trisakti Jakarta dibandingkan atlet sepeda.
Memilih menekuni pendidikan dibanding atlet juga bukan tanpa alasan. Apalagi, kala itu menjadi atlet tidak bisa menjadi pilihan hidup yang bisa menggembirakan. Karena waktu itu, atlet yang berprestasi juga tidak mendapatkan uang atau bonus. Yang didapat hanya piagam atau piala saja.
“Kalau sudah ngetop ya udah selesai. Kalau sekolah kan bisa hidup terus,” tandasnya.
Wah, ujungnya memang sekolah lalu bekerja tetap menjadi pilihan paling aman untuk hari tua. Namun kalau sudah begini, apa masih penting arti sebuah prestasi walau demi nama bangsa? Atau mungkin ini jadi indikator nyata semakin terpuruknya nama Indonesia di bidang olah raga? Karena saat tua, toh, akhirnya tetap terbuang.
Bagaimana menurut kamu?
Nugroho berniat melelang berbagai medali koleksinya untuk disumbangkan ke mantan atlet sepeda.
Ketika masih berjaya, Nugroho seolah menjadi momok atau ketakutan bagi atlet lain. Tidak heran, ketika berlaga pada suatu event, nama Nugroho selalu ditanyakan oleh atlet lain. Mereka menanyakan apakah Nugroho ikut berlaga atau tidak. Jika Nugroho turut berlaga, maka atlet lain akan kepayahan dan kewalahan sehingga tidak akan menang.
Nugroho mengawali karirnya sejak masih duduk di bangku kelas 2 SMP 19 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Ia melepaskan karirnya sebagai atlet sepeda, ketika memasuki bangku kuliah. Ia lebih memilih menjadi mahasiswa arsitek di Universitas Trisakti Jakarta dibandingkan atlet sepeda.
Memilih menekuni pendidikan dibanding atlet juga bukan tanpa alasan. Apalagi, kala itu menjadi atlet tidak bisa menjadi pilihan hidup yang bisa menggembirakan. Karena waktu itu, atlet yang berprestasi juga tidak mendapatkan uang atau bonus. Yang didapat hanya piagam atau piala saja.
“Kalau sudah ngetop ya udah selesai. Kalau sekolah kan bisa hidup terus,” tandasnya.
Wah, ujungnya memang sekolah lalu bekerja tetap menjadi pilihan paling aman untuk hari tua. Namun kalau sudah begini, apa masih penting arti sebuah prestasi walau demi nama bangsa? Atau mungkin ini jadi indikator nyata semakin terpuruknya nama Indonesia di bidang olah raga? Karena saat tua, toh, akhirnya tetap terbuang.
Bagaimana menurut kamu?
Sumber:
Post a Comment