Suami saya adalah seorang dosen tidak tetap di salah satu universitas di Jakarta. Ia baru saja curhat kekecewaannya terhadap salah satu asisten dosen, karena menurutnya benar-benar unexpected, seorang asdos yang ber-IPK tinggi di fakultasnya, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia resourceful dan siap untuk mengajar. Komentar saya mula-mula: “Loh, kan memang tidak ada mata kuliah mengajar, jadi wajar aja kali ya kalau dia ngga terampil…”. Tapi kemudian suami saya cerita bahwa maksud dia, si asdos ini tidak komunikatif sama sekali, tidak bisa menantang mahasiswanya untuk berfikir kritis, sekaligus tidak bisa mengkritisi hasil kerja mahasiswanya. Menghadapi mahasiswa sangat tidak terampil, dia lebih banyak diam atau membaca materi presentasinya secara membosankan tanpa tanda-tanda antusiasme terhadap apa yang dia ucapkan. Pada saat rapat dosen pun dia membiarkan dirinya invisible, tidak bersuara sama sekali.
“Kok bisa ya IPnya tinggi?” keluh suami saya.
Sebenarnya pertanyaan ini sudah klasik. Sering kan kita mendengar: “Dulu waktu kuliah IPnya tinggi banget, tapi kok pas kerja kayanya ga secemerlang itu ya?” atau “Padahal dia waktu kuliah cuek banget, ngga pernah belajar, kali. Cuma sibuk ke sana ke mari. Tapi ngga nyangka, sekarang sudah bisa jadi Bos.”
Fenomena seperti itu adalah salah satu indikator lemahnya korelasi antara perguruan tinggi dengan tuntutan kerja di dunia
, di mana teori-teori yang “kelihatannya” usang masih menjadi andalan pada saat ujian, dihafalkan, dan kemudian… dilupakan setelah nilai keluar dan A sudah di tangan. Kelihatannya? Ya, sebenarnya tidak semua teori usang, begitu juga tidak semua buku musti di-tongsampah-kan karena diterbitkan duapuluh tahun yang lalu. Tetapi masalahnya terlalu sering dosen, atau guru, tidak mengaitkan (atau tidak menstimulasi mahasiswanya untuk menganalisis) antara teori dengan fenomena riil sehingga akibatnya kita hanya menilai teori tersebut usang, kuno, tidak aplikatif, dan akhirnya: dihafalkan saja.
Ditambah lagi soal-soal ujian, yang menjadi penentu nilai mata kuliah dan selanjutnya menentukan IP dan IPK, adalah soal-soal hafalan. Jadi konsekuensinya, yang IPKnya ‘gede’ adalah mereka yang rajin menghafal, suka menulis (biasanya kalau soal esai, jawaban yang panjang-panjang nilainya lebih dari yang cuma beberapa baris walaupun yang beberapa baris tadi sangat akurat loh J). Sayangnya, mereka yang analitis, yang kreatif, up-to-date, dan suka menantang dirinya untuk bereksperimen seringkali tidak terakomodir dalam sistem pendidikan formal, tetapi menjadi landasan kebutuhan di dunia kerja atau industri. Mungkin (ya, hipotesis saja) inilah yang menyebabkan mengapa IPK mahasiswa seringkali tidak dapat mengindikasikan kesuksesan seseorang dalam dunia kerja
selama sistem pendidikan indonesia tidak pernah dievaluasi,ya hanya seperti ini produk yg dihasilkan
Spoiler for Lamar pekerjaan :D:
Post a Comment