Sekretaris Jenderal Asosiasi Negara Asia Tenggara (ASEAN), Surin Pitsuwan, menyatakan telah membahas indikasi adanya pembantaian etnis minoritas muslim Rohingya di Myanmar. Menteri luar negeri Bangladesh dan Myanmar sama-sama dipanggil karena kekerasan sejak dua bulan terakhir tidak juga surut.
Surat kabar the Daily Star melansir, Minggu (15/7), Pitsuwan mengaku mendapat informasi adanya kekerasan sistematis yang menimpa etnis itu di Provinsi Arakan, dekat perbatasan Myanmar-Bangladesh. "(ASEAN) berjanji akan terus memantau nasib para penduduk yang malang itu," ujar dia.
Rohingya merupakan etnis yang tinggal di sekitar Bangladesh dan Myanmar. Namun mereka kerap ditolak warga asli kedua negara lantaran memiliki budaya berbeda dan beragama Islam. Akibatnya mereka sering disebut etnis tanpa tanah air.
Kekerasan paling serius menimpa kaum Rohingya Bulan lalu di Myanmar. Warga asli dari etnis Rakhine intensif menyerang suku tanpa tanah air itu sejak bulan lalu.
Serangan bermula karena ada kabar perempuan beragama Buddha diperkosa tiga lelaki Rohingya. Isu ini membuat penduduk marah dan menyerang perkampungan komunitas muslim itu.
Berdasarkan catatan pemerintah Myanmar, sejak insiden kekerasan pertama kali terjadi, 78 tewas dan 90 ribu warga Rohingya kehilangan rumah dan harus hidup di penampungan. Beberapa pihak percaya jumlah korban meninggal jauh lebih banyak.
Pemimpin ASEAN itu mengaku telah memanggil perwakilan Myanmar dan Bangladesh pada forum menteri luar negeri di Ibu Kota Kamboja, Pnom Penh, dua hari lalu. Kedua negara dianggap sengaja menyengsarakan etnis Rohingya lantaran membiarkan mereka diserang oleh penduduk lokal.
Dari pertemuan kemarin kedua Menteri Luar Negeri Bangladesh Dipu Moni maupun Wunna Maung dari Myanmar sepakat bekerjasama untuk menghentikan kekerasan. Keduanya juga berjanji terus memberi laporan terbaru kepada ASEAN terkait perkembangan kasus ini.
Awal pekan kemarin, Presiden Myanmar Thein Sein meminta warga Rohingya yang terkatung-katung diurus Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan pengungsi (UNHCR). Myanmar beranggapan kelompok muslim itu bukan warga negara mereka, melainkan imigran ilegal yang datang dari Bangladesh. "Itu sebabnya mereka tidak bisa kami terima di Myanmar," kata Thein Sein.
Padahal diperkirakan ada 8 juta etnis Rohingya tinggal di Myanmar saat ini. Mereka sudah turun-temurun tinggal di sana. Pegiat hak asasi, seperti Amnesty International, mengecam PBB dan negara-negara Barat lantaran hanya menyampaikan keprihatinan atas kejadian ini.
Bahkan aktivis pro-demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi belum menyatakan pendapat mengenai kekerasan yang dialami minoritas Rohingya.
Muslim Rohingya, minoritas yang tertindas
Mungkin nama Rohingya kurang akrab terdengar di telinga Anda. Tetapi, jika terucap nama Myanmar pastilah Anda cepat teringat. Mereka adalah kaum muslim hidup dan menempati Negara Bagian Arakan (sekarang Rakhine), sebelah Barat Laut Ibu Kota Yangon. Kira-kira saat ini jumlah mereka mendekati satu juta orang. Mereka adalah minoritas di negara itu.
Banyak versi menyebut kehadiran mereka di Myanmar. Menurut sejarawan setempat, Khalilul Rahman, kata Rohingya berasal dari dari bahasa Arab, Raham, artinya simpati. Dia menarik kesimpulan seperti itu lantaran merujuk kepada sebuah peristiwa di abad kedelapan masehi, yakni eksekusi para pedagang Arab yang kapalnya terdampar di Pulau Ramree milik Kerajaan Arakan. Sebelum masing-masing dipancung, mereka meneriakkan kata Raham berkali-kali.
Tetapi hal itu dibantah Jahiruddin Ahmad dan Nazir Ahmad. Menurut keduanya asal sebutan Rohingya dipakai karena para penduduk muslim itu merupakan keturunan Orang Ruha asal Afghanistan. Seiring waktu, lidah warga setempat menyebutnya Ruhaingya, dan berangsur-angsur menjadi Rohingya, seperti dikutip dari situs www.wikipedia.org.
Namun, sejarawan Myanmar menolak teori itu. Khin Maung Saw mengatakan sebutan Rohingya buat muslim Myanmar tidak pernah ada sampai tahun 1950. Sementara Dr. Maung Maung menarik kesimpulan lebih jauh lagi. Dari hasil pencarian arsip sensus penduduk oleh penjajah Inggris pada 1824, dia tidak menemukan sebutan suku bangsa Rohingya dalam catatan itu.
Namun, apapun yang terjadi, kaum muslim Rohingya hidup tertindas jauh sebelum rezim militer berkuasa di Myanmar pada 1978. Mereka menjadi golongan terbuang di negeri mereka sendiri. Buat mendapatkan kewarganegaraan Myanmar pun dipersulit. Selain itu macam-macam pajak tidak masuk akal juga dikenakan kepada mereka. Dalam mencari nafkah mereka dibatasi. Selain itu, kebanyakan juga masih mengalami praktek kerja paksa.
Di benak orang Rohingya jangan pernah berharap memiliki rumah karena pasti bakal dihancurkan atau dibakar tentara pemerintah. Jika dilihat sekilas, kehidupan mereka mirip orang Yahudi yang diburu di berbagai belahan dunia. Bangsa tanpa tanah air.
Muslim Rohingya seakan dianggap sebagai "pengganggu keindahan" keberagaman oleh rezim di Myanmar. Pada 1978, militer Myanmar mengusir mereka ke Bangladesh. Bukannya bertambah baik, kehidupan mereka malah memburuk, tidak diterima masyarakat dan kembali diusir. Akhirnya mereka harus menerima kenyataan hidup terlunta-lunta, seperti dilansir dari situs www.irrawaddy.org, (25/6). Bahkan hidup mereka lebih buruk dari kaum muslim di Patthani, Thailand Selatan dan Bangsa Moro di Filipina Selatan.
Salah satu pengungsi yang tidak disebutkan namanya mengatakan kisah hidup orang Rohingya lebih buruk dari seekor burung betina. Dia menganggap bahkan burung saja punya hak hidup. Mereka bisa membangun sarang, melahirkan, memberi makan anak-anak mereka, dan membesarkannya. Sementara orang Rohingya harus hidup sengsara tanpa harapan dan diperlakukan layaknya serangga pengganggu.
sumber :http://www.merdeka.com/dunia/asean-akhirnya-bahas-pembantaian-muslim-rohingya.html
إرسال تعليق